Batas maksimum pinjol bakal diatur dalam rancangan peraturan ojk tentang layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (lpbbti) atau fintech peer to. Dalam hal ini usia dibawah 17 tahun belum bisa mengajukan pinjol. Apalagi untuk melakukan pinjaman online, menetapkan batas umur minimal dari 21 tahun sampai 55 tahun,. Aturan yang mulai berlaku 2024 tersebut mengatur batasan jumlah platform pinjol, besaran bunga dan biaya lain, hingga batasan waktu penagihan bagi debt collector. Pinjol wajib menawarkan asuransi kepada peminjam.
Sementara untuk pengunjung umum di atas 12 tahun, wajib menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk melakukan skrining.
Perlu dicatat, Hanya pengunjung dengan kategori Hijau dalam aplikasi PeduliLindungi yang diperbolehkan masuk area.
Pengunjung kategori hijau adalah mereka yang telah melakukan vaksinasi secara lengkap dan tidak ada ada hasil positif atau kontak erat dengan pasien Covid-19.
Jadi, sebelum berkunjung, pastikan kamu telah memenuhi syarat batasan usia di atas.
Ancol Tak Lagi Berlakukan Ganjil Genap
Taman Impian Jaya Ancol sudah tidak lagi memberlakukan aturan ganjil genap.
Pengumuman itu disampaikan langsung melalui akun Instagram Ancol, @ancoltamanimpian.
Artinya, para wisatawan kini bebas berlibur ke Ancol tanpa harus menyesuaikan plat nomor kendaraan dengan tanggal kunjungan.
Baca juga: Liburan Seru ke Dufan Ancol Setahun Penuh, Cuma Bayar Rp 350 Ribu
Peniadaan ganjil genap sejalan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2022.
Menurut surat keputusan tersebut, aturan ganjil genap yang berlaku pada tempat wisata di Jakarta dtiadakan mulai 18 Februari 2022.
Bagaimana cara meningkatkannya?
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ishak
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Perbedaan usia di antaranya para konsumen, memunculkan kebutuhan dan selera yang juga tak sama. Karena itu, beberapa produsen lantas membuat seri produk dengan desain khusus untuk mengakomodir bervariasinnya selera dan kebutuhan itu.
Upaya ini juga dilakukan produsen tas dan perlengkapan alas kaki wanita ternama nasional, PT Karyamitra Budisentosa. Setidaknya, ada tiga brand yang ditawarkan ke pasaran.
Ketiganya yakni Bellagio, Rotelli, dan Gosh. Masing-masing brand, disebut dihadirkan untuk menyasar bervariasi selera dan kebutuhan konsumen.
"Kalau konsumen (berusia) remaja dan berumur itu pasti beda seleranya. Gayanya juga sudah pasti berbeda," ujar Person In Charge (PIC-Penanggunggjawab) outlet Bellagio, Rotelli dan Gosh Ayani Megamal Pontianak, Murlina, saat dijumpai Senin (19/12/2016) siang.
Murlina memaparkan, brand Rotelli, secara desain dan model, umumnya dihadirkan untuk menjawab kebutuhan dan selera kalangan wanita dewasa. Termasuk para ibu-ibu.
Adapun brand Gosh, dihadirkan untuk menyasar pengguna dari kalangan wanita remaja. "Jadi, bisa dibilang desainnya memang sangat berbeda," lanjutnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan, meski sama-sama disiapkan untuk pengguna dewasa, terdapat perbedaan yang cukup kentara antara Bellagio dan Rotelli. Terutama dari bahan yang digunakan.
"Kalau Bellagio, itu umumnya mengaplikasikan bahan canvas. Kalau Rotelli, kebanyakan pakai bahan full kulit asli. Jadi memang lebih elegan," paparnya.
Penggunaan full bahan kulit asli itu, berdampak pada sisi harga. Di mana Rotelli disebutnya rata-rata dijual dengan banderol harga yang jauh lebih tinggi.
"Kalau Bellagio dan Gosh itu antara Rp 400 ribu-an sampai Rp 600 ribu-an saja. Tapi kalau Rotelli bisa Rp satu juta-an ke atas," timpalnya.
Namun, katanya, konsumen tak perlu khawatir. Sebab, produk-produk yang ditawarkan pada ketiga merek itu, adalah produk yang secara kualitas dan desain terbilang sangat unggul.
Ditulis oleh M. Saupil on 12 Juli 2024. Dilihat: 25522Posted in Pengumuman Pengadilan
“KEMASLAHATAN DALAM PEMBATASAN USIA PERKAWINAN”
(Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan)
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang diharapkan dapat berlangsung sepanjang hayat hingga maut memisahkan, bukan hanya sekedar untuk mengubah status tanpa tanggung jawab dan bahkan tanpa cinta dan kasih sayang. Salah satu persoalan perkawinan yang hingga kini masih banyak dilanggar dan menjadi persoalan di masyarakat adalah perkawinan dibawah umur. Secara hukum Islam telah ditetapkan batasan umur perkawinan sesuai dengan aturan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu laki-laki berusia minimal 19 Tahun dan Perempuan berusia minimal 19 Tahun, namun setelah dilakukan perubahan UU Perkawinan maka batasan umur perkawinan disamakan antara perempuan dan laki-laki yaitu minimal 19 Tahun. Untuk itu dalam makalah ini akan membahas tentang kemaslahatan dalam batasan usia perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan hasil pembahasan dalam makalah ini maka kemaslahatan dalam batasan usia perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu; 1) Memberikan perlindungan terhadap anak, 2) memberikan kesempatan penyelesaian pendidikan anak, 3) Mengurangi tingkat perceraian, dan 4) Menjaga kesehatan reproduksi anak perempuan. Beberapa hal inilah yang menjadi dasar mengapa perkawinan itu diberikan batasan umur yang layak untuk menikah, sebab jika tidak dilakukan pembatasan umur maka perkawinan tidak akan berjalan sesuai dengan ketentuan perkawinan dalam Islam.
Kata Kunci: Perkawinan, Batasan Umur, Kemasalahatan
Perkawinan dalam istilah agama Islam disebut dengan nikah ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan yang menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan kerelaan kedua belah pihak, untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup yang diliput rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah swt.
Ketertarikan manusia kepada lawan jenisnya merupakan sebuah naluri. Naluri itu bersumber dari ketetapan Allah yang telah menciptakan makluknya berpasangan (laki-laki dan perempuan). Meskipun naluri adalah fitrah, ia tetap akan menjadi madharat jika tidak disalurkan dengan tepat. Oleh karenanya, Islam mensyariatkan suatu hubungan yang sah bernama perkawinan/pernikahan. Perkawinan semacam ini diharapkan lahir ikatan pernikahan yang dapat mencegah perbuatan yang dilarang, seperti berzina, kekerasan fisik maupun psikis.
Saat ini salah satu bentuk perkawinan yang dirasa banyak menyimpan persoalan di dalamnya adalah perkawinan dibawah umur, oleh sebab itu perkawinan dibawah umur memang banyak diragukan keberadaannya di masyarakat dengan berbagai macam alasan, seperti; tujuan perkawinan yang dilakukan bukan karena agama tetapi semata-mata hanya karena sudah mendesak akibat dari telah terjadinya hubungan seksual di luar nikah, kemudian belum mampu mengemban hak dan kewajiban yang dibebankan baik kepada suami maupun kepada istri, belum bisa berdiri sendiri secara ekonomi keluarga karena tidak memiliki skill dan pendidikan yang cukup, rentan terjadi kekerasan secara fisik dan mental dalam rumah tangga dan rentan terjadi perceraian.
Keraguan masyarakat terhadap adanya perkawinan di bawah umur saat ini dapat diselesaikan dengan adanya ketentuan pelaksanaan dispensasi nikah di Pengadilan Agama yang diberlakukan untuk mengatasi persoalan perkawinan di bawah umur. Namun meskipun aturan tentang dispensasi nikah telah diatur sedemikian rupa tetap saja ada yang menganggap bahwa perkawinan dibawah umur masih menjadi persoalan yang belum dapat terselesaikan.
Batasan usia perkawinan dalam hukum positif di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan mencapai umur 16 tahun” , dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) dapat meminta dispensasi di pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh orang tua pihak pria atau wanita” . Namun saat ini pasal tersebut telah berubah ketentuannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang didalamnya menyebutkan persamaan batasan umur perkawinan antara laki-laki dan perempuan yaitu minimal berusia 19 Tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Pasal 7 ini merupakan salah satu solusi dari penyelesaian persoalan perkawinan dibawah umur, sebab tanpa dispensasi nikah, perkawinan tidak dapat dilakukan. Sehingga penetapan hakim dalam perkara dispensasi nikah menjadi sesuatu hal yang sangat menentukan, apakah perkawinan dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan. Dengan adanya permohonan dispensasi nikah ini harapannya akan memberikan dampak yang baik untuk masa depan dan kehidupan kepada kedua belah pihak bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban sebagai prasyarat untuk melegalkan perkawinan.
Meskipun persoalan dispensasi nikah ini masih menjadi persoalan tersendiri dalam tatanan hukum Islam di Indonesia, namun adanya perubahan batasan usia perkawinan ini berdasarkan UU Perkawinan dapat dianggap menjadi suatu solusi yang dapat membawa kemaslahatan bagi pasangan dibawah umur yang akan menikah. Untuk itu dalam makalah ini akan membahas tentang kemaslahatan dalam batasan usia perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Batasan Usia Perkawinan
Menurut penjelasan dalam al-Quran atau hadis Nabi secara terang-terangan sebenarnya tidak mengatur tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat al-Quran yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu, seperti halnya apa yang disebutkan dalam al-Quran sebagai berikut:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu adalah baligh. Hal-hal disebutkan di atas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa. Tentang bagaimana batas dewasa itu dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat pula berbeda karena perbedaan lingkungan budaya dan tingkat kecerdasan suatu komunitas atau disebabkan oleh faktor lainnya. Baligh berarti sampai atau jelas, yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang menjadi jelas baginya segala urusan atau persoalan yang dihadapi. Pikirannya telah mampu mempertimbangkan atau memperjelas mana yang baik dan mana yang buruk.
Para ulama telah bersepakat tentang adanya batasan usia perkawinan, maka batasan usia perkawinan pun diatur di Indonesia melalui hukum positif di Indonesia. Dalam rangka mengatur dan memberi rambu-rambu tentang perkawinan demi tercapainya tujuan suci ikatan perkawinan, pemerintah menetapkan beberapa peraturan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang saat ini telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Salah satu muatan perubahan undang-undang tersebut yaitu mengatur tentang batas usia perkawinan.
Adapun batasan usia perkawinan menurut aturan yang mengaturnya dan pendapat para Ulama adalah sebagai berikut:
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa :
Perkawinan didasarkan atas persetujan kedua calon mempelai.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Selain itu terdapat pula dalam pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria dan wanita telah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki maupun perempuan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1)
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni pihak pria sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan pihak wanita sekurang-kurangnya berumur 16 tahun, yang saat ini telah dirubah menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Kompilasi Hukum Islam mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dengan rumusan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (eman belas) tahun. Masalah penentuan umur dalam Undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang bersifat ijtihadiyah sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih.
Sehingga para remajapun yang belum mencapai usia dewasa dapat melakukan kesiapan-kesiapan yang lebih matang dalam hidupnya yaitu dapat melakukan aktivitas belajar dan bekerja serta berpestasi dengan tetap menjaga diri dari pergaulan bebas. Dengan adanya batas usia yang jelas tersebut masa kecerdasan sebagai anak-anak tidak menjadi terampas dengan beban tanggung jawab yang harus diembannya karena telah berubah statusnya sebagai suami atau istri dalam usia yang masih dini.
Kedua belah pihak calon mempelai pria dan wanita telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”.
Menurut pernyataan di atas dapat dipahami bahwa si istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu ialah bila berlangsung selagi yang menyusu masih berumur dua tahun atau kurang. Hal ini berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya baru 6 tahun dan menggaulinya setelah berumur 9 tahun.
Dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan kawin itu kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut pandangan mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushahara. Nabi mengawini Aisyah anak dari abu bakar dalam usia 6 tahun diantaranya ditujukan untuk kebebasan Abu Bakar memasuki rumah tangga Nabi, karena disitu terdapat anaknya sendiri. Namun pada saat ini perkawinan itu lebih ditekankan kepada tujuan hubungan kelamin. Dengan demikian, tidak adanya batas umur sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab fiqh tidak relevan lagi.
Menurut Pendapat Para Ulama
Para Ulama sepakat bahwa masa baligh pada anak laki-laki dan perempuan mewajibakan mereka untuk ibadah, hukuman-hukuman dan syariat lainnya. Masa baligh laki-laki adalah dimulai dengan ihtilam yaitu keluar air mani, baik karena persetubuhan maupun yang lainnya, baik disaat terjaga maupun ketika tidur (mimpi). Tapi para ulama sepakat bahwa tidak ada pengaruh bagi persetubuhan yang terjadi saat mimpi kecuali bila keluar air mani.
Abu Hanifah berkata, “batas usia baligh adalah 19 atau 18 tahun untuk anak laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan”. Sementara mayoritas ulama‟ madzhab Maliki berpendapat bahwa batas usia baligh pada laki-laki dan perempuan adalah 17 atau 18 tahun. Imam syafi’i, Ahmad, Ibnu Wahab dan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa batas usia keduanya adalah setelah sempurna 15 tahun.
Tidak dibolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur, kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya. Demikian pendapat Ibnu Syibrimah. Hasan dan Ibrahin An-Nakha’i berpendapat: diperbolehkan bagi orang tua menikahkan putrinya yang masih kecil dan juga yang sudah besar, baik gadis maupun janda meskipun keduanya tidak menyukainya. Disisi lain Abu Hanifah mengatakan: orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum baligh baik itu masih gadis ataupun sudah janda karena jika putrinya sudah mencapai usia baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang dikehendaki tanpa harus meminta izin orang tuannya. Posisi orang tua pada saat itu sama seperti posisi wali, yaitu tidak boleh menikahkannya dengan izinnya baik yang masih gadis maupun janda.
Mengenai kebalighan seseorang yang merupakan syarat suatu perkawinan kecuali yang menikah adalah walinya berarti dalam pandangan ini perkawinan di bawah umur dibolehkan asal yang menikahkan adalah walinya, konsekuensi argumen semacam ini logis karena seorang yang masih di bawah umur belum mampu memilih pasangan hidup oleh karenanya si wali mempunyai tanggung jawab dalam memilihkan pasangan hidupnya. Terkait dengan hal ini, dikenal adanya konsep hak ijbar dalam fiqih madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, hak ijbar ialah hak wali. (dalam madzhab Syafi’i, ayah atau kakek) untuk mengawinkan anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja dia bukan berstatus janda menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, hak ijbar diberlakukan baik kepada perempuan yang sudah dewasa. Namun demikian rupanya hak ijbar ini tidak dengan kehendaknya saja. Hak ijbar dapat dilakukan oleh ayah atau kakeknya dengan syarat memang terdapat kemaslahatan (kepentingan yang baik). Ulama syafiiyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan. Sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain.
Tidak adanya permusuhan yang nyata antara dia (perempuan) dengan walinya, yaitu ayah atau kakek.
Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya.
Calon suami harus kufu (sesuai atau setara)
Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Undang-undang ini sedikit berbeda dengan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap batasan umur minimal, laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun, hal ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata merupakan syarat materil mutlak dalam pelaksanaan perkawinan, yang dimaksud dengan syarat materil mutlak, yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya.
Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan. Dispensasi usia perkawinan memiliki arti keringanan akan sesuatu batasan (batasan umur) didalam melakukan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dispensasi usia perkawinan merupakan dispensasi atau keringanan yang diberikan Pegadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dispensasi usia nikah diatur dalam pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dispensasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 artinya penyimpangan terhadap batas minimum usia nikah yang telah ditetapkan oleh undang-undang yaitu minimal 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Oleh karena itu, jika laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai usia nikah namun hendak melangsungkan perkawinan, maka pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak dapat memberikan penetapan dispensasi usia nikah apabila permohonannya telah memenuhi syarat yang ditentukan dan telah melalui beberapa tahap dalam pemeriksaan, namun sebaliknya apabila pihak yang berperkara tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan maka pihak pejabat dalam hal ini Pengadilan Agama tidak memberikan dispensasi untuk perkawinan kedua belah pihak tersebut.
Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam al-Quran surat An-Nur ayat 32.
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.
Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah baginya untuk kawin. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah bagi orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.
Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi biaya hidup sudah mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah mendesak untuk kawin sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang dipandang dari segi jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup isteri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu kepada laki-lakinya. Ibaratnya seperti seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya bilamana ada aibnya.
Apabila terjadi salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak untuk membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka suaminya boleh membatalkan dan dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan perkawinan. Hal itu adalah syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Diantaranya adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum Islam akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon suami isteri. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab (penawaran tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum perkawinan dilangsungkan, adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri (calon wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana kawin paksa dibawah umur.
Perkawinan mengandung banyak faedah dan keutamaan. Diantara faedah-faedah tersebut adalah:
Melaksanakan perintah Allah SWT.
Mengikuti sunnah Rasulullah SAW. dan meneladani para Nabi
Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara pandangan.
Mencegah zina dan memelihara kehormatan kaum perempuan.
Mencegah penyebaran perbuatan keji dikalangan kaum muslimin.
Memperbanyak keturunan yang dengannya Rasulullah SAW. bisa membanggakan umata beliau dihadapan para Nabi terdahulu.
Memperoleh pahala dari hubungan seksual yang halal.
Mencintai apa yang dicintai Rasulullah SAW. sebagaimana yang tercantum dalam sabda beliau yang artinya “Aku dianugerahi rasa cinta kepada dua hal dari dunia kalian: wewangian dan perempuan”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Membina generasi mukmin yang dapat memelihara dan melindungi kediaman kaum muslimin serta selalu meminta ampun dosa-dosa mereka.
Melahirkan keturunan yang bisa mendatangkan syafa’at untuk masuk syurga.
Pernikahan akan melahirkan ketenangan dan rasa kasih sayang antara sepasang suami istri.
Kemaslahatan Dalam Batasan Usia Perkawinan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam pasal 7 ayat 1 yaitu “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”, dan ayat 2 “dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Terlihat dalam aturan ini tidak sama skali mengatur tentang adanya alasan mendesak baru dapat dilakukan dispensasi nikah. Begitupun dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada pasal 15 disebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi dibawah umur. Bedanya, di dalam memberikan dispensasi nikah yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Kemudian dipertegas lagi dalam KHI mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan dengan rumusan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas) tahun. Masalah penentuan umur dalam Undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang bersifat ijtihadiyah sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih.
Dari segi batasan umur perkawinan memang dalam undang-undang perkawinan hasil revisi telah berubah yaitu perkawinan hanya diizinkan bagi laki-laki dan perempuan yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Revisi UUP) adalah berkaitan dengan usia perkawinan, calon mempelai, baik pria maupun wanita telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun.
Sebelum adanya revisi undang-undang perkawinan persoalan batasan usia perkawinan masih memiliki tujuan yang sama dengan setelah adanya revisi undang-undang perkawinan yaitu memberikan batasan usia yang dapat melangsungkan perkawinan, namun perubahan pada batasan usia perkawinan setelah adanya revisi UU Perkawinan terdapat kemaslahatan yang dilindungi untuk pasangan yang akan menikah, antara lain pertimbangannya adalah:
Perlindungan Terhadap Anak
Batasan usia perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebelum terjadinya revisi undang-undang perkawinan terdapat perbedaan batasan usia perkawinan yaitu laki-laki 19 Tahun dan Perempuan 16 Tahun, namun setelah adanya revisi undang-undang keduanya telah disamakan menjadi 19 Tahun.
Salah satu pertimbangan kemaslahatan dari adanya perubahan batasan usia perkawinan ini adalah untuk melindungi hak-hak anak. Adapun yang dimaksud dengan Perlindungan anak menurut Arif Gosita adalah “upaya-upaya untuk mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban anak”. Seorang anak yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan. Usaha-usaha perlindungan anak berupa tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum, sehingga menghindarkan anak dari tindakan orang tua yang sewenang-wenang.
Dengan demikian, perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil, dan kesejahteraan anak, termasuk melindungi dan mencegah terjadinya perkawinan anak serta pelecehan seksual terhadap anak. Melindungi anak berarti melindungi manusia, dan membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur, mengabaikan perlindungan terhadap anak, berakibat dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional.
Batasan usia perkawinan sebelumnya yang mensyaratkan Perempuan boleh menikah diusia 16 Tahun, dapat dilihat bahwa pada usia tersebut khususnya di Indonesia masih termasuk usia sekolah dalam hal ini usia sekolah setara Sekolah Menengah Atas (SMA), sehingga dengan batasan usia perkawinan untuk perempuan diusia 16 Tahun ini dikhawatirkan akan banyak anak perempuan yang putus sekolah dan memilih untuk menikah karena dibolehkan.
Sejak adanya perubahan undang-undang perkawinan tersebut yang mensyaratkan batas usia sama antara laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu 19 Tahun, maka hal ini menunjukkan bahwa diusia tersebut pasangan perkawinan dapat dipastikan telah selesai menyelesaikan pendidikan meskipun baru pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Meskipun begitu pemerintah telah melakukan perubahan undang-undang dengan tujuan yang dianggap demi kemaslahatan anak-anak, namun tetap saja masih banyak yang justru melakukan pelanggaran terhadap batasan usia perkawinan. Sehingga dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tersebut tetap saja masih banyak terjadi perkawinan anak dibawah umur dengan izin pengadilan yaitu melalui proses dispensasi nikah.
Selain itu berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Oleh sebab itu dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017, sehingga pada tanggal 14 Oktober 2019 Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Dalam undang-undang yang baru ini perubahan hanya terjadi pada satu pasal yaitu Pasal 7 yang salah satunya pada pasal 7 ayat 1 menyebutkan “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”. Selain itu diantara pasal 65 dan pasal 66 ada tambahan satu pasal yaitu pasal 65A.
Mengurangi Tingkat Perceraian
Perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang masih dibawah umur, menimbulkan banyak kehawatiran dari berbagai pihak. Kehawatiran itu terjadi karena perkawinan anak dibawah umur pemikirannya masih sangat labil, sehingga banyak menimbulkan persoalan dikemudian hari antara lain terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, masalah nafkah karena belum memiliki penghasilan yang tetap, dan perkawinan masih banyak bergantung pada orang tua sehingga perkawinan seperti ini justru menimbulkan banyak permasalahan dalam rumah tangga yang berujung pada terjadinya perceraian.
Perkawinan bagi manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda, sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan basis yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum adat juga berperan serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti halnnya pernikahan dini atas latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat hingga hal ini adat menjadikan hukum untuk mengawinkan secara mendesak oleh aparat desa, yang itu mengacu kepada kesepakatan masyarakat yang tidak lepas dari unsur agama Islam.
Kesehatan Reproduksi Anak Perempuan
Dalam perkawinan anak yang rata-rata terjadi dibawah usia 18 tahun kalau dilihat dari segi kesehatan reproduksi memang belum memenuhi standar kesehatan terutama bagi pihak perempuan yang akan menjalani proses kehamilan. Dilihat dari segi kesehatan usia 20-25 Tahun bagi perempuan adalah usia yang ideal untuk menikah. Karena kesehatan reproduksi dalam keadaan yang subur dan cukup matang. Dan dianjurkan bagi pasangan yang akan menikah untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan fisik merupakan terbebasnya seseorang dari penyakit (menular) dan juga bebas dari penyakit keturunan.
Jika perkawinan dilakukan dibawah usia 21 tersebut maka dikhawatirkan akan membahyakan kesehatan fisik dan reproduksi seorang ibu. Karena pada usia masih muda akan beresiko pada bahaya penyakit menular dan akan mengakibatkan kematian pada sang ibu.
Menurut hendrawan, seorang wanita dianggap siap untuk menikah apabila organ reproduksinya sudah matang menurut biologis. Usia kematangan organ reproduksi wanita dianggap matang ketika telah mencapai 24 tahun. Dari sisi medis organ reproduksi yang belum cukup matang akan berpotensi menimbulkan masalah nantinya.
Oleh sebab itu, perubahan undang-undang Perkawinan khususnya tentang batas usia perkawinan sudah merupakan langkah yang tepat, demi untuk menjaga dan menjamin hak-hak perempuan dan anak. Hal ini dilakukan juga karena kemaslahatan perempuan dan anak yang nantinya akan dilahirkan. Meskipun pembatasan usia perkawinan telah dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek sosial, namun di Indonesia masih dilonggarkan dengan adanya upaya dapat dilakukannya dispensasi nikah.
Pada prinspinya batas usia perkawinan secara tegas tidak diatur baik dalam al-Quran, Hadis maupun dalam pandangan Para Ulama. Batasan usia perkawian mulai diatur berdasarkan aturan hukum positif di negara masing-masing tergantung sistem yang berkembang di negara tersebut dengan pertimbangan cultur, kebiasaan, dan kelayakan, sehingga masing-masing negara berbeda batasan usia perkawinannya.
Batasan usia perkawinan di Indonesia diatur dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan mencapai umur 16 tahun”, dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) dapat meminta dispensasi di pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh orang tua pihak pria atau wanita”. Namun saat ini pasal ini telah berubah ketentuannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang didalamnya menyebutkan persamaan batasan umur perkawinan antara laki-laki dan perempuan yaitu minimal berusia 19 Tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun kemaslahatan pembatasan usia perkawinan setelah dilakukan perubahan undang-undang perkawinan khususnya tentang batasan usia perkawinan yang telah mensyaratkan batasan usia yang sama antara perempuan dan laki-laki adalah 19 Tahun, antara lain dengan mempertimbangan beberap aspek sosial didalamnya yaitu; 1) Perlindungan terhadap anak, sebab yang dimaksud dengan anak dalam sistem hukum di Indonesia adalah setiap orang yang belum mencapai usia 18 Tahun, maka pada usia tersebut sebagian besar sepakat usia tersebut belum layak untuk menikah, 2) Pendidikan anak, perubahan undang-undang perkawinan tentang batasan usia perkawinan juga mempertimbangkan aspek pendidikan yang dapat dinyatakan bahwa sebelumnya syarat batasan usia nikah untuk perempuan yaitu 16 Tahun di Indonesia masih termasuk usia sekolah sehingga juga belum layak untuk menikah, 3) Mengurangi tingkat perceraian, meskipun batasan usia tidak menentukan tingkat kedewasaan seseorang namun usia dapat menentukan tingkah laku seseorang dalam berumah tangga oleh sebab itu penting untuk mempertimbangkan batasan usia perkawinan demi untuk menghindari terjadi persoalan rumah tangga dikemudian hari, dan 4) Kesehatan reproduksi anak perempuan, pada aspek ini yang paling dipertimbangkan adalah perempuan yang menikah masih dalam usia dibawah 19 Tahun masih sangat rentan terjadinya gangguan kesehatan, gangguan kehamilan dan bahkan dikhawatirkan sampai menyebabkan kematian pada ibu dan anak.
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Antara Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Pranada Media Group, 2006).
Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (diterjemahkan oleh Ghozi. M), Cet. I, (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia, 2016).
Ade Benih Nirwana, Psikologis Kesehatan Wanita, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2011).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Realita, (Malang: UIN-Malang Press, 2009).
Husen Muhandid, Fiqh Perempuan “Refleksi Kyai atas Wacana Agama & Gender”, (Yogyakarta: Kerta.LKIS, 2001).
Hamdani, Risalah Al-Munakkahah, (Jakarta: Citra Karsa Mandiri, 1995).
Hendrawan Nadesul, Buku Sehat Calon Pengantin dan Keluarga Muda, (Jakarta: Buku Kompas, 2007).
https://www.jogloabang.com/pusaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974-perkawinan, diakses pada tanggal 06 November 2023.
Ibnu Al-Humam, kitab Syarh Fath Al-Qadir, terj. Moh. Tolehah Mansor, Menara, kudus.
Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Ba‟an, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhori jilid 15, (Jakarta: pustaka Azzam, 2006).
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991).
Lukman A. Irfan, Seri Tuntutan Praktis Nikah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997).
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
Moch. Faisal Salim, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia. (Bandung: Mandar Maju, 2005).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015).
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, Juz IV, 2000).
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan
(UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan), (Yogyakarta: 1986).
Syaikh kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 1998).
Công Bố Rủi Ro: Giao dịch các công cụ tài chính và/hoặc tiền điện tử tiềm ẩn mức độ rủi ro cao, bao gồm rủi ro mất một phần hoặc toàn bộ vốn đầu tư, và có thể không phù hợp với mọi nhà đầu tư. Giá cả tiền điện tử có độ biến động mạnh và có thể chịu tác động từ các yếu tố bên ngoài như các sự kiện tài chính, pháp lý hoặc chính trị. Việc giao dịch theo mức ký quỹ gia tăng rủi ro tài chính. Trước khi quyết định giao dịch công cụ tài chính hoặc tiền điện tử, bạn cần nắm toàn bộ thông tin về rủi ro và chi phí đi kèm với việc giao dịch trên các thị trường tài chính, thận trọng cân nhắc đối tượng đầu tư, mức độ kinh nghiệm, khẩu vị rủi ro và xin tư vấn chuyên môn nếu cần. Fusion Media xin nhắc bạn rằng dữ liệu có trên trang web này không nhất thiết là theo thời gian thực hay chính xác. Dữ liệu và giá cả trên trang web không nhất thiết là thông tin do bất kỳ thị trường hay sở giao dịch nào cung cấp, nhưng có thể được cung cấp bởi các nhà tạo lập thị trường, vì vậy, giá cả có thể không chính xác và có khả năng khác với mức giá thực tế tại bất kỳ thị trường nào, điều này có nghĩa các mức giá chỉ là minh họa và không phù hợp cho mục đích giao dịch. Fusion Media và bất kỳ nhà cung cấp dữ liệu nào có trên trang web này đều không chấp nhận bất cứ nghĩa vụ nào trước bất kỳ tổn thất hay thiệt hại nào xảy ra từ kết quả giao dịch của bạn, hoặc trước việc bạn dựa vào thông tin có trong trang web này. Bạn không được phép sử dụng, lưu trữ, sao chép, hiển thị, sửa đổi, truyền hay phân phối dữ liệu có trên trang web này và chưa nhận được sự cho phép rõ ràng bằng văn bản của Fusion Media và/hoặc nhà cung cấp. Tất cả các quyền sở hữu trí tuệ đều được bảo hộ bởi các nhà cung cấp và/hoặc sở giao dịch cung cấp dữ liệu có trên trang web này. Fusion Media có thể nhận thù lao từ các đơn vị quảng cáo xuất hiện trên trang web, dựa trên tương tác của bạn với các quảng cáo hoặc đơn vị quảng cáo đó. Phiên bản tiếng Anh của thỏa thuận này là phiên bản chính, sẽ luôn được ưu tiên để đối chiếu khi có sự khác biệt giữa phiên bản tiếng Anh và phiên bản tiếng Việt.
© 2007-2024 - Công ty TNHH Fusion Media. Mọi quyền được bảo hộ.