Pasal 33 Ayat 3 Uud 1945 Adalah

Video: November 2024, Cadev RI Susut USD 1 M Menjadi USD 150,2 M

Indonesia has guaranteed legal protection for every community, such legal protection can be seen through the guarantees contained in Article 28, 28E paragraphs (2 and 3) of the 1945 Constitution which states that the protection for the promotion, enforcement and fulfillment of human rights includes freedom of opinion and expression. expression. Based on these provisions, it is clear that the State has provided protection and recognition of the rights possessed by the community, which should also be owned by the punk community in Indonesia. This writing is motivated by the existence of problems, namely, how to apply Article 28E paragraph (3) of the 1945 Constitution to the right to freedom of expression for the punk community related to human rights in Malang City, and how the community responds to the punk community in showing the form of freedom of expression. The type of research used in this paper is empirical juridical research. While the type of approach used by the author in this study is a sociological juridical approach.

Keywords: Expression, Punk, Protection.

Indonesia telah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat, perlindungan hukum tersebut terlihat melalui jaminan yang terdapat dalam Pasal 28, 28E ayat (2 dan 3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa perlindungan pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Berdasarkan ketentuan tersebut sudah jelas bahwa Negara telah memberikan perlindungan serta pengakuan terhadap hak yang dimiliki oleh masyarakat, dimana hal itu juga sepatutnya juga dimiliki oleh komunitas punk yang ada di Indonesia. Penulisan ini dilatar belakangi dengana danya permasalahan yaitu, bagaimana penerapan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 terhadap hak kebebasan berekspresi bagi komunitas punk yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di Kota Malang, dan bagaimana respon masyarakat terhadap komunitas punk dalam menunjukkan bentuk kebebasan berekspresi. Jenis peneltian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis empiris. Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis.

Kata Kunci: Ekspresi, Punk, Perlindungan.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-UndangNomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Abid Zamzami, (Januari 2018), Keadilan di Jalan Raya, Jurnal Yurispruden, Vol. 1 No.1.

Mata najwa, mei 2017, lirik pembelaan. Diakses pada juni 28, 2021. Dari Metro tv news:https://youtu.be/i_rpYQlvj4M

Umar Said Sugiharto, 2017, Pengantar Hukum Indonesia, Ed. 1. Cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika.

Djaali, Pudji Muljono, M. Said Saile, Ramly, 2003, Hak Asasi Manusia (Suatu tinjauan Teoritis dan Aplikasi) Cet. 1, Jakarta: CV. Restu Agung

Negara tak punya arah, dalam mengambil kebijakan yang sehat. Negara yang baik selalu memerlukan pedoman dan patokan yang jelas. Indonesia memiliki landasan dalam melaksanakan nilai-nilai, yaitu UUD 1945, yang memiliki nilai sakral dan kuat. Orientasi terakhir upaya negara dalam melaksanakan lajur jalan pemerintahan atau setiap mengambil kebijakan harus menciptakan kebahagian bagi rakyatnya. Hal itu tentu saja harus berangkat dari UUD 1945 yang sudah diimani bersama-sama secara khidmat.

Namun anehnya, rezim pemerintahan saat ini dan sebelumnya acapkali mengabaikan akan adanya UUD 1945, sehingga negara keluar dari koridor yang semestinya, kekuasaan menindas bagi rakyat kecil yang tak berdaya, pengambilan keputusan yang gegabah, kebijakan terus-menerus mengeksploitasi rakyat, pembagian atau alokasi yang ugal-ugalan.

Persoalan agraria yang tak pernah selesai

Akhir-akhir ini banyak kita dapati serentetan peristiwa yang mengindikasikan negara mulai bapuk dalam mengurus hajat banyak rakyatnya. salah satu yang perlu kiranya kami sorot lebih detail dalam hal ini ialah mengenai konflik agraria. Betapa tidak, apa yang terjadi di Kendeng, Rempang, Wadas, hingga pembangunan IKN merupakan serentetan bentuk ketidakseriusan negara dalam menjalankan UUD 1945. Rata-rata letusan konflik agraria disebabkan oleh pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Belum lama ini juga masih terdengar ramai pembicaraan tentang hutan Papua yang hendak dijadikan lahan perkebunan sawit.

Sederet peristiwa tersebut merupakan sebuah bentuk penindasan negara terhadap masyarakat yang berada di kawasan tersebut, upaya dilakukan oleh negara dengan menjadikan daerah pegunungan sebagai lahan pertambangan, investasi asing yang tak terkendali, deforestasi secara ugal-ugalan dan eksploitasi sumber daya alam. Hal tersebut yang mau tidak mau berdampak pada krisis iklim dan ketidakseimbangan ekologi.

Jika ditarik lebih jauh, letusan konflik agraria tersebut disebabkan oleh ulah pemangku kepentingan. Rezim saat ini membangun proyek strategis di tanah-tanah sudah bagaikan kolonialis. Semua dibangun hanya untuk cukong, sedangkan penduduk asli terasing, terpinggirkan. Sungguh miris hidup di negara yang kekayaan alamnya tak ternilai, masyarakat pribumi justru tersiksa di negara sendiri.

Suara rakyat hanya sebatas angin

Mempertahankan suatu wilayah yang dihuni oleh masyarakat sejak nenek moyang sampai sekarang adalah hal yang sangat sakral. Tak cukup itu, mempertahankan wilayah tersebut juga merupakan hidup dan mati bagi sebagian masyarakat. Apalagi wilayah tersebut menjadi tempat penghidupan bagi masyarakat. Tapi tidak dengan pemerintah, mereka rakus merebut tanah-tanah yang selama ini menjadi tempat masyarakat hidup.

Akusisi tanah tersebut dilakukan secara paksa dengan menurunkan aparat TNI atau Polri sehingga berujung dengan kriminalisasi, dianiaya, tertembak dan tewas. Berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh warga seperti mengecor kaki di istana negara, suku Awyu Papua mendatangi gedung Mahkamah Agung. Semua dilakukan demi mendapatkan hak hidup dan hak alam. Akan tetapi suara tersebut tidak didengar padahal suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei).

Dengan seperti itu kita tidak bisa mengabaikan kasus konflik agraria yang tidak tersorot oleh publik. Marianne mengatakan, bahwa konflik agraria masih banyak yang tidak terdokumentasikan atau dilaporkan sehingga datanya lebih bersifat tidak sesuai dengan kenyataan. Ini menunjukan bahwa undang-undang tidak serius dijalankan oleh pengampu jabatan.

Bayangkan, betapa negara ini bapuk mengurusi hukum dengan lapuk. Dosa yang mereka lakukan pun berlipat ganda. Dosa vertikal dan horizontal. Dosa yang profan dan sakral. Sungguh, tak sedikitpun kita lihat sikap altruisme dari mereka yang hari ini kita sebut pemerintah.

Hukum untuk penguasa dan pemodal

Adanya UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) tak menghalangi upaya pemerintah untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan hasilnya masuk dalam saku pribadi orang-orang yang berkepentingan. Padahal bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Nyatanya bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menjadi sebuah pertanyaan, apakah semua tanah milik negara? Menguasai seperti apa? Kemakmuran rakyat yang bagaimana?

Pasal ini mengandung dua hal yang esensial. Pertama, memberikan sebuah hak bernama hak menguasai. Kedua, hak menguasai negara harus diberikan kepada rakyat demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Sering digaungkan di dunia digital, dunia perkuliahan, bahkan obrolan di warung kopi pun tidak asing mendengar bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum seperti apa? Banyaknya tumpukan berkas Undang-undang menjadi tak bernilai ketika dihadapkan oleh penguasa dan pemodal. Terlebih lagi dalam letusan konflik agraria yang landasan utamanya ialah UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Seakan-akan pasal tersebut mulai rapuh tidak memiliki daya untuk bertahan dalam waktu lama, tinggal menunggu waktu hancurnya saja. Meledak, dan lihatlah kiamatnya.

Seharusnya, negara sebagai pengelola hak menguasai, bukan pemilik yang sewenang-wenang menggunakan tanah secara arogan. Pembangunan proyek strategis tanpa mempetimbangkan dampak lingkungan, membagi-bagi tanah kepada pihak asing dan investor. Akibatnya rakyat mengalami penderitaan seperti hilangnya lahan pertanian, kualitas air semakin memburuk, penggusuran, serta eksploitasi kekayaan alam..

Prinsip “equality before the law” menjadikan tugas hukum untuk membangun kesetaraan. Maka dalam hal ini upaya seharusnya dilakukan oleh pemerintah mengutamakan dialog dan mencapai kesepakatan dengan warga yang terlibat dengan konflik agraria. Dengan begitu, kewajiban negara memenuhi hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang layak dan sehat. (*)

(*) Anas Sholihuddin adalah mahasiswa angkatan 2022 pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Kediri.

%PDF-1.6 %���� 3661 0 obj <>stream ,������=�1���nT��a ��# ����gdT#y��f�wv+��+g �渫i�$G|�4F�qW�~t$�h~C�cVg�e�6 �x#",����Q�6����ս�Ρ$Ԓ�r'ti�P�f� kq���8$�'��\k]�����E١�7Ӄ�-����IPh�l��d2��Ž���<׳q�HHo���ȕr���2W,Z#���k��0L�H�s��s4M�!7.����fF��R� �GQ�v_ ���"����4}��i.��\"u3�H��������y���M4W��E�6��.�p��9�%k![��t��x z��\E���De��J"�ҕ�@C8���m��ŷ!�8��M*��4 ���gp39爬���A�:�b �\ݲ��b��[&� �y��k��xI�h�H`���M�#w�K��k ȧ{Ź��8n���e���=a�mg�C��\�������C���!s!m���8�ƃN��5�8�}|���\��^;8�_9�.�4� ���zܸjO�Nx�[�><�ܷ����Q��B�|�K�J G��\���m�� ���y��t����ɠ@P����n�ֻ�K�w�\����,:��q&�a�?~�cv�%D3�A�5� 7T?)D�Z��w��HcG����� �(��pY���`��e�X��ޖ|S�!�ldχ��5���(n�TO�������L[(�`�y�W�_bȉ� ��@͓,�l����EFh�Z%r6������.�Z�D�^E�j�#o�V���չl�΂G�S~���B��65|;ME����B��IW�6NK��$����!:��-[`�@oZ� ͈i� ��A�phM3��6�Kv_���hp�z�`D06F�<�6��QJ�y!��X�~~3�zF���,�gz�PO�_�w>���e�l ��0�p�s#�(���ER�c̑��n�k�SuS���)b�C 4ك��g� ��XAW�lVEF;� �F7�H�#D=�����z���0z��Jc{�01CR �c<� ��LJuj'/��zňac�#]㥟q�_��y7 ?|��%����ӧ��l�������c��op���WEI���;R #��x�0{��T�a���X��|���6tC�Y-E��-.�ŪU�}���z��ח�'���h00y�QV�m��tQ-��M�$3t��� �ģj�J�k7'[ �wcO]�c4w�)n��;A9��@e�"������v�.#��r�e��LAޱ5��A�y%)�����ɀ����.Bj|�dtm�9��x�(%�\T��u�`��Cɔ�Yc��P,~O�� �ɖJ2��gIlX��)'"�7�X�_ʄ�@ b�X��Fg�1�J��YDXmXp(V�s>¼1�3����vr��o����'#��y�B*,]6w��'w�kyúT���#�#%-C� �0-��H�3���KDL:���XjT���Ƚwu�X�Ϊ��Q��t_Cq|��z��T�n!�LIz1�OA4��}���R��� ��f�y����[����'�̂7S�;��#���<��ͭڰ/ i�0��Ŗ�R���"͗)E)]=Ƚ#^m��Q��^�z=3��!y�}��kB|����R��p���wT�=����6�F��c]!f��MR��ҽk�]�c�є��U���O��+� m�-�s��B��l�*�XF��햰��ĜA����u<���2�eB�����T|HV��!Ze�@i��h����p���E��e�%F�_���O�Glt�e罴U6�?�\FĢ�����$�6� �$��&O>���z����MO�MCw�A�j�n�7�����(��G \��)�ݸ��Q�E7���6fmmo�,#S�I����vk%�i�6����.4٬ endstream endobj 3662 0 obj <>stream x���=�$2����?��leyB��3����Q�r(x{R�D�k�JS�y�g�%�t������ߏ6�%J�x)��G� �k/ӈ,wǡ endstream endobj 3663 0 obj <>stream ��8��3Te�=��o#�+߀9�l>����7��l�ƚ��ᄍ��� �.�b�1Nу�\��?�(�bOs瘂���$r����y endstream endobj 3664 0 obj <>stream !;A6�q�u�*�Hc�ݬ�L�ցI�aTԖle�m��G���4�* ��A��)�:a� endstream endobj 3665 0 obj <>stream ~��F�2� ��X�9 ��"�T]�13��k��Q@�Hh�82뇌�(�6�!�`X�=�㶢����'X9oS~������&��X��݁�{x�v���x��=z/(�1"�_���WȑS^�_�"'J�\4�`;m<ń�KY� ��E�o v(t��Ԋ�hL�N*WN�A������"`��mF� :'4�^�K�[�U��ܧ6+p���B�i���4�� �4�v�s@�w�eFY��n��R$t&� fU�U���� �?u���D����dqz?�35VT;�_�~�r�ڇ�V�Ra����!���i��y.A?��eG&�y�G��IC�k!D²ֶ|j�wa�!_�Z+ �~"��LI���dM"ŹR1��+�„ ��5N���m �1��:������Z3�F�T��f�E��gg# +�[wa�2�4�-ˣ ���1{w!k�^b����D���p�%���8��۫���~$0�A��P�K��;5�x���n�\��� �r�d�͡<�����g�?��ɇ�k�4\z/���J�u�;�|# endstream endobj 3666 0 obj <>stream 7uEv�R�:~ ����|��V���3���¥R'��IF|��[E\_uq�{*)�A����S)��r1NtI���/��Ñ�/�o�<�q��Y��-uqpI���[q#��.\|�Z9�j���_��>\0 ��1S�.;�M���� endstream endobj 3667 0 obj <>stream ��\���� `�}���Qr�J�cK��y]������' 8<�]#!��7�����bDZ ��ktdb����:H�`>r�Ͻ�5�@��`�UIk���� �`\)�h�vG뭮����� endstream endobj 152 0 obj <>stream }pT endstream endobj 153 0 obj <>stream ==� endstream endobj 154 0 obj <>stream >�� endstream endobj 155 0 obj <>stream O�= endstream endobj 156 0 obj <>stream %|� endstream endobj 157 0 obj <>stream ��v endstream endobj 158 0 obj <>stream iu� endstream endobj 159 0 obj <>stream : endstream endobj 160 0 obj <>stream �� endstream endobj 161 0 obj <>stream ��� endstream endobj 162 0 obj <>stream ��� endstream endobj 163 0 obj <>stream x� endstream endobj 164 0 obj <>stream 6��LY2�w h��Nw*}��w/�������J���ӳu� ��NP���ˈ� �}l���i�I;�N���!�Xe��\�dU����\:?�!>�V�:3iA(K��ZL3��ׇl4�I��a���e���q�:.����|h��n��~8�����A���xCgç�v�q{�e�q0Ep�`����X�_��ȂӞ�k�m�Ӿ]"�Y *��l�`��7w�o�=��-���Ƭ2�訃K�r�(�"�_%"��l�����`�I�4����ҜT�F%`1�*=�a�4 �g�9z�R�5 ���%A��F;[)�(<���t�T��T�E�*�i]���EK�%�)���r��|�>e�P�&X�*��L ��Q� � To�����z+��{�����ww�)�]����쇇�.z�@�ӇXV3��`>��ßM�R��ꟈ��H����m�����?u-���<Ɗ��F:uE�T�>�Y��N��,!w]�{�k�= %�֣"�F�`b� ��� ��e�jр��xLtc��TLW@�|�)Kv5a���~{<��#$�u��%��,���>�#�f$�QQ�d�M�.� ��� &�W��YFF�d���Qn�_}�"�:D���]�:�\8U҂�ٖ\�Cz+����+�0R��Ǟ �w/ւlU*��?�(? s�X�W�}���Ski�=�'ڇ�D9��Pv�"�ӄ30���:�^�,ᓷ�)}�k<�xX9h�KKE�w /��'1F.`4$�:�5� S�׶| �H��������u�jgGx=Q����Y_��1�@�@�k�9�c��ߤ� YE�7�X��ᛱ����9h��Gs��d ��n�{�$��Qx� �m�V����Օ�y^s���+���É���C�^LB? �C1y����ŕn�mC�Y� Q��>�Q}���g��V��W�:W��@p6j��g�6f�>;��ɹ�U.@_�=w��g`��G\u��C�(���kr�F}@�ރa8l�#��S��rl�hy'�p��&���0!Zm����k��ׇg:v!����; ��s{į�;�]mJ|����F6���g�d�t۶r�6��T�?�k%�V~�ش�f`8A"j��v��Q��!�x� �)s�S_�'=�w�H�O]ݣY-���q@{Ɂ���~5���p�A?�D�U�N�2�qp?9Ǯ�@**��4j���y�A�&f��j��֘b�6xj_y)���y.㒱__�Z'�6�֎��ݠ�-A� ^���y(W {�g4$6�V}���"���������}�_E���*�C��I�z�Px�1nB\7�g�l~��x�(h;��xx��� VA��㜦�G*�9�������̔�ԟg2��6�^d����L�/ʠ�+�s�ƲV[�@�>l2�U��t���*��I ��R�:}���W���{\d��ÿ^�̴��:�FeXqA{��'L����2�eJ��܏�wX��U��҇�6��d�5&�����D8h���Zk�����88���ϩ���_ �1�Rc z�+�|�o�� ����O�/��а�+]�R�Í�F#�{��M� ������b�͎�'$ )�sR��k��ʆ��}�*f��ܗ5Z����F֗ufP���}�#��$�3'q�T-)u�M|�V�CyFVE`bŽ�N�+Ȃ���� H�O�\���P��J�jWcS"�l�hH�8����ϴO�+����]��-���p��������Ҭ@�Fj���(��E����Z��^�f/�I��͞`�(���Uy����4Ee�D�����$� �R��r�"kYu;B�_��c-Ź]Q"�W��&i�18G��N%u�u��i��޶ Ą�'/�v���vk�D{R<�Xѹ���gp����4wr4)�ީU�r2��Y��g�k��=�e*>��jq�n��Aɀ�+|�k��Y[��������"�t0�X# ��%��z��l���@U��v�����/: �����֦���`B��[�^3}���O "7w]����O�T��UWV[%�]��K���L�sdbj�#>B�,�Ԅ��4i$1������i&Jb/αb��.�x����d�b1<� 64'Hf;�Sf����尀&`�/�Qڍ����#nH#�&���2��j�Q���� Q�P_/nܿ�� �2O��o�6�r��!�I������vl��脌q�䬾Z(d��fT+*,�W���u<�}i��\���$�ah"�+�Ϭ���o�g]��-�[~Ɓe�Ag�>u�-�� �PX�i�x�n��*x�Xb�?ǐi�ր�V�J��Q��~a��&'��7��_HU�#RԤ�����m��[P�Xu}�L�I�z !+ٮ�؟{E��I9L�?��D7�dd��?iZ`!��m�R��p��" ���Uo��i�s��a۴##��l 8v�Z�:s�Q��Y���]�ɻXT �?l:f�A[S�D�dt$����;�'Y�rC3k���?Κ� i���}��4V1��w\Z�f��F�븷�t�lYU3��l�K �OC�����r�ua!A|���Pa��У��ׅ{���|���fўR� _H�{������&X�At�o�2z�#]/�����?�������a�i{��E�8�p�Y`F[q���e<��.��Y:���*T�[H�K�zۍ|ͯ�<2�}�M�#���ʙ���V;!h�DoF������(�5��e��X������d˂��C��O+��'��2����4~��"��‹:�������6o��lwS:s&�ro _!��TO�z,�<*� |���T-�r p�$̞һn�|d��+�k��`����g���P�J�ҿ�g�1�p%4u���^ҋ<�]-i&�+`\��0�iy�*sO ��z�/���2�N���Q:��1n���'a`�!5պ�GѻN�>g"ᢌ��^#���,�K}��t5�@YS���(���])��C�>� #�T���`/>���Y9��݁=�i֬B�V��{nC�Q�����E�$�H�D�JQB�����4�žښU���#⨈��5�,!���{���#��8��!5?��l2�$m������UW���٠�C�����Q�� V�VAb����1�T�)�7��H�y���{��2ԁ\���שe,{�S�f�5y�E �@mζ�d endstream endobj 165 0 obj <>stream ��� endstream endobj 166 0 obj <>stream kO1:�r���鱇� �U�E+J��S�ƹN�˃��{�^m1*����VeN�#Ye6�s��]��%m"k�KWY¡o��l+x�ć��q��/˭JIS�p���̸P���/�$ ��2��U=h�1�#��FaT�Pet@�PSH�H endstream endobj 167 0 obj <>stream �� endstream endobj 168 0 obj <>stream �0�Kb�����q����m��е~5�{�ƶ����g��^�z�����wMڏ�:�WsZU�����،|�|�Pz/�uD�K�}T��2}���m���g���\�+p L���c�!�(�yҨ�LGg���:����1�}�M�t�th� endstream endobj 169 0 obj <>stream � endstream endobj 170 0 obj <>stream y ��Z���#��(~HZ���9�-Ў$�^�`�=�2]#"�[(1Q�� �V�E�t�ͨf�u�)�������oi_ �&�z �WAuMpXm�M��{#j���kp���fZ�@���e�W�1�T\��? endstream endobj 171 0 obj <>stream �{s endstream endobj 172 0 obj <>stream /�&���Pj��xp7,9i��6����J����[���m�?+�xD���=�����F�g���Tz ��!W�o��s㾺0�ǖZ|�'�����V>N〩\t���}a�*�$ endstream endobj 173 0 obj <>stream $�� endstream endobj 174 0 obj <>stream =��BAPoB�qe2)�xu�g`��&��*)��.�[�?&-с��i�`=fC�4x�|�c��^��O���"��-�� ���� P!�w;�?ʂP�c&+ ��5����2z���r#�{d��Qb��,�4\3n- ��@e��iQ]��C �7��i endstream endobj 175 0 obj <>stream �� endstream endobj 176 0 obj <>stream �A.rZ^&��1wq�����E��M)v��ѷ�m#�گ���l�n �+�:BhX#vȭU�3_Vޜ��oZsV��5�V�O�?�Bf�q�S��ȜRpv/�֡}�}�kq��46:>��aʨ�{$�k endstream endobj 177 0 obj <>stream `�{ endstream endobj 178 0 obj <>stream �ie~Ɉ@`d!�߂wÖq�tJm�,i�&A�cv?��3�5���x��K vn�e[%q�;+$F;�oq�o��B �C��yң�b,+�a��� 7X�ּ�㘊=w�c��B d�����f�����< endstream endobj 179 0 obj <>stream � A endstream endobj 180 0 obj <>stream b� ��E5�����8&R!�ލ]��!����P 4��� 05�0�\�Yh��O��b�N�g�u,WM�X�� ����xq.R����.z���л���qY���C�"BP�*��ĥ"���d]nw�@m���is�ΛJC�!J�Edy endstream endobj 181 0 obj <>stream d� endstream endobj 182 0 obj <>stream )�e�4D6�s�\��T{bl���LeM��hsE�X���S˒���X�眷E���WP��7T��~�ܡ��#T�m���.&�q� ����l�d���t�ށ�#�H��B����y]jŝ{��������*�V֊3)9��g�ԙn���k endstream endobj 183 0 obj <>stream ��� endstream endobj 184 0 obj <>stream �3���~�|�Pz��CZ8L��}&�&0)���[%�ef�MӬ���. ���8D��Nԯ���n5`�i�U [� ץ���#����t{�<.u> ���� ��&���7�k�C �JY���"Z�^�,2��� endstream endobj 185 0 obj <>stream �K� endstream endobj 186 0 obj <>stream �NB���8h��G�/ȽN�%+*K4D� ���lX/3l2�F�t�5�O3CE��#�ik���4 ����Ⱍ���Ȫ;��7�/f�����I�w��� c��P�lj�\œ� endstream endobj 187 0 obj <>stream �Q` endstream endobj 188 0 obj <>stream �uLp�G��7�_q�_B+�dPͦ�rHx�v� ��1 lz�\��E�f����/ �G�� m���Q�Ȋ���u\�xM�����˕E�E�]�e�l�������٭t�0(﫩<�K���{��э��Uگ endstream endobj 191 0 obj <>stream /y� endstream endobj 192 0 obj <>stream D� endstream endobj 193 0 obj <>stream u=� endstream endobj 194 0 obj <>stream KӃ endstream endobj 195 0 obj <>stream �� endstream endobj 196 0 obj <>stream �� endstream endobj 197 0 obj <>stream �-Z endstream endobj 198 0 obj <>stream �(� endstream endobj 199 0 obj <>stream ��9 endstream endobj 200 0 obj <>stream I$� endstream endobj 201 0 obj <>stream �� endstream endobj 202 0 obj <>stream ��$ endstream endobj 203 0 obj <>stream �_�u��I:;���� � h(ZQ��c���)��Ar'�I#T���Ͷ�#�4B+�������G� 7Rg��Vx�ۗR�l:f��a��10�mD]�I/j`bB򋩁KX�y��c\��bz�.�_o��'~RWBON�,S�$Xɩ���� �;��^�.��zN�9Ȩ��Q �g�5y�H�����&P�hH{!�K:��3~U��t�_��Y�3�,�m\��7͡&hm���`��-���A7&+���x�k� �]�� �2-Ʉ`i�&��J0�Rϲ����3/$P��É��7�+���K�,�ݝ>E��f��6w���TY��|�)���Q�G4�H�Af����l��B'/��D� �M|���/sg�=i� �J�������d��!�S�ʸ���''�S�j��=y����KІ��� 1n���F9�n�{�>���_�`����'D>&����4�^ ��)M ?��������~(���]�c�f�����ջ���)��yVA�ߟ)�z�UF�^� Ͳ��n:�3%]k�z���F��rZ��%�1���-�*��.3��t��)�/X�z��[5��J^�:.O��뛣N��M�n ܹ �����l��E�����2C�A`��J�KO�����Щ��0W��[oɅ�5��x>�Z+�z �2 {M5+DP�fRin�]�%�u4���Z�9��T�`���D=5�(%�s-Hڔ���Y�}����愧���-k?hwC�������*4M�R@ˏ�� �A%Н����י��ү]'�i�7u-��i���m��2�^ו�pZ�*-���dxЁ� :�=B+ߖ��1h�&�?d�cdxH��d��4�S����=�̞n�#dp�t��n�l�Ee�\]�|�[�:�֟�SIW�t�v�h��d:��mhS*ų^M�:���Nz<�<���WC��N���5��+i�i�`)A���w%{��A[>�gkL^rb���0';��~�ѹ���Ns�V�w1�V��[c�gq�r�A�ֿb�� r�����mND*k\�6h�7����Փ��i<`iP��Tneȹht4�����!��sy P���_�9�2B��Xؓ�U�/N�v?�N�^����[?�G�?���].�G1��d��@|0x�֣��֗����p�;r�,DJ�n�D����Iݾ���Q�M ��A����������^���Id��?M�*[��{��̊Ta**����*�,Z k��� �����A�r'|�򜃅R$nb�-ۜ�n�"E�

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Jakarta, CNBC Indonesia - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3 menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sayangnya, UUD yang menjadi konstitusi dasar di Indonesia tidak diindahkan oleh para eksportir sumber daya alam. Pasalnya, banyak eksportir tambang yang memilih untuk mengedepankan kepentingan sepihak demi mendapatkan kenyamanan.

Hal ini tampak pada upaya mereka yang memilih membawa kabur dolar hasil ekspor barang tambang yang dikeruk di Indonesia ke luar negeri.

Beberapa berdalih bahwa upaya tersebut dilakukan demi menjaga kantong atau neraca perusahaan. Padahal, pilihan ini membuat Indonesia dan masyarakat susah. Dolar yang dibawa ke luar negeri dan disimpan di bank di negara lain membuat likuiditas terganggu. Yang terjadi adalah perebutan dolar yang berujung menekan nilai tukar rupiah.

Agar praktik menahun seperti ini tidak merajalela, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengelolaan Sumber Alam.

Keputusan ini Jokowi tetapkan setelah menggelar rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023). Dari hasil rapat kabinet ditetapkan bahwa pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Alasan Jokowi memutuskan kebijakan besar ini, karena dirinya ingin eksportir menaruh devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian cadangan devisa dan fundamental Indonesia semakin kuat.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai arahan Presiden Jokowi menegaskan bahwa beberapa negara seperti India dan Thailand mengatur batasan 6 bulan untuk parkir DHE, beberapa negara mengatur 1 tahun harus parkir.

"Indonesia sebagai negara penganut devisa bebas (sebelumnya) tidak mengatur, bahkan BI mencatat. Kalau mencatat dan mengatur berbeda," jelasnya.

"Melalui PP 1 kita akan atur supaya devisa itu masuk dulu sehingga akan memperkuat devisa kita," tegas Airlangga.

Indonesia telah mencatatkan surplus neraca perdagangan 32 bulan berturut-turut sejak 2021. Namun, kinerja tersebut berbanding terbalik dengan cadangan devisa yang bergerak di kisaran US$130 - US$144 miliar.

Baru-baru ini, Indonesia membukukan ekspor senilai US$ 291,98 miliar pada 2022. Ini merupakan torehan surplus tertinggi dalam sejarah. Ironisnya, cadangan devisa (cadev) justru menurun US$ 7,7 miliar sepanjang tahun lalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor yang menembus US$ 291,98 miliar pada 2022 melonjak 26,07% dibandingkan 2021. Secara nominal, ekspor 2022 lebih tinggi US$ 60,37 miliar dibandingkan kumulatif ekspor pada 2021 yang tercatat US$ 231,61 miliar.

Sementara itu, data Bank Indonesia mencatat cadev justru berkurang US$ 7,7 miliar sepanjang 2022 dari US$ 144,91 miliar pada Desember 2021 menjadi US$ 137,2 miliar pada Desember 2022.

Di tengah rencana merevisi aturan DHE, pengusaha pertambangan tampak tidak sepenuhnya setuju. Melalui Indonesian Mining Association (IMA), mereka meminta devisa Hasil Ekspor (DHE) perusahaan tambang tidak sepenuhnya diparkir di dalam negeri. Pasalnya, hal tersebut akan berdampak bagi kinerja keuangan perusahaan.

Plt Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan utang-hutang perusahaan tambang selama ini dalam bentuk mata uang asing dolar. Alhasil, apabila DHE harus ditaruh ke dalam negeri, hal itu akan memberatkan perusahaan.

"Sebenarnya kalau diberikan seluruhnya ke pemerintah agak keberatan kita, karena utang-utang perusahaan tambang kan dalam bentuk mata uang asing. Jadi itu perlu dibayar dengan uang asing," ujar Djoko kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (18/1/2023).

Djoko mengakui selama ini perusahaan-perusahaan batu bara kakap seperti PT Kaltim Prima Coal, Adaro, dan PT Arutmin telah menjalankan aturan yang sudah ditetapkan pemerintah terkait DHE. Namun, aturan tersebut belum banyak dipatuhi perusahaan-perusahan tambang kecil.

Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan Vita Budhi Sulistyo menjelaskan, pihaknya bersama Bank Indonesia (BI) sudah beberapa kali melakukan sosialisasi mengenai ketentuan DHE SDA.

Sosialisasi dilakukan lewat berbagai cara, baik itu melalui surat, pemberitahuan di media massa, hingga pertemuan langsung dengan para eksportir yang bersangkutan.

Dari hasil perbincangan dengan para pengusaha, persoalan yang kerap terjadi, sosialisasi yang disampaikan otoritas diwakili/diterima oleh pihak yang menganggap sosialisasi DJBC dan BI hanya angin lalu, sehingga diabaikan begitu saja.

"Sehingga ada perdebatan, perusahaan bilang 'lah kami belum pernah disosialisasikan'. Padahal sudah, karena (perwakilan yang mendapatkan/ikut sosialisasi) menganggapnya itu sosialisasi bersama," jelas Vita.

Selain itu, ada juga persoalan perusahaan, di mana yang bertanggung jawab dalam melakukan pemindahan DHE SDA ke dalam negeri sudah tidak bekerja di perusahaan tersebut. Sehingga, perusahaan tidak sadar bahwa mereka belum melakukan pemindahan.

Vita bilang, tidak mungkin perusahaan dengan sengaja tidak melakukan pemindahan DHE SDA-nya ke dalam negeri, karena mereka tahu konsekuensinya. Mereka bisa kena denda administratif, tidak bisa melakukan ekspor, atau bahkan bisa dicabut izin usahanya.

"Karena kalau dia sengaja, kan dia tahu sanksinya. Dan ini sangat buruk buat dia, bukan hanya reputasi, eksportir juga punya kontrak dengan negara lain," ujarnya. Alhasil, biaya yang harus dikeluarkan eksportir bisa membengkak.

Sebagai catatan, ketentuan mengenai kewajiban eksportir untuk menyimpan DHE SDA di dalam negeri tertuang di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang diatur di dalam PBI Nomor 21/14/PBI/2019.

Sementara ketentuan sanksi administratif kepada para eksportir yang melanggar ketentuan DHE SDA, tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.

Denda administratif ini dilakukan oleh Kemenkeu, berdasarkan laporan oleh BI dan OJK. Ada dua jenis pelanggaran sanksi administratif bagi eksportir yang tidak melaporkan DHE-nya di dalam negeri.

Pertama, jenis pelanggaran yakni bagi eksportir yang tidak menempatkan DHE di rekening khusus. Perhitungannya harus membayar 0,5% dari DHE SDA yang belum ditempatkan.

Kedua, jenis pelanggaran bagi eksportir yang menggunakan DHE SDA di luar ketentuan penggunaan. Penggunaan DHE yang dimaksud seperti untuk transaksi bea keluar atau penggunaan ekspor lainnya, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, atau keperluan lain dari penanaman modal.

Perhitungan untuk jenis pelarangan penggunaan DHE di luar ketentuan yakni 0,25% dari DHE SDA yang digunakan di luar ketentuan.

Saksikan video di bawah ini: